Tuesday 31 May 2016

23:54:00

Pemerintah Indonesia berencana untuk melacak semua transaksi dari kartu kredit yang bertujuan untuk menindak penggelapan pajak yang telah merajalela dan untuk mendorong orang agar  kembali membayar pajaknya, memang ini suatu usaha yang cukup sulit dalam upaya pemerintah untuk melacak uang haram yang mengalir. Oleh sebab itu pemerintah indonesia mengeluarkan Sebuah keputusan baru yang mengharuskan bagi penyedia kartu kredit untuk mengirimkan rincian transaksinya termasuk juga dengan pelanggan dan identitas merchant ke kantor pajak pada tanggal 31 Mei 2016 dan tampaknya ini menakutkan para  konsumen, dan perhitungan bulan pelaporan aktivitas transaksi kartu jatuh pada bulan April.

Sebenarnya tujuan dari pemerintah adalah selain untuk meningkatkan pendapatan pajak negara sekaligus juga memerangi aksi pencucian uang, korupsi dan pelacakan dana keuangan tindakan (pendanaan) terorisme. Bagi para konsumen mereka lebih waspada dan meningkatkan pengawasan atas transaksi mereka. Data bank sentral Indonesia menunjukkan nilai transaksi kartu kredit turun 4 persen pada bulan April 2016 dibandingkan dengan bulan april tahun lalu, ini adalah hal yang pertama terjadinya penurunan dalam enam tahun terkahir dari catatan data publik. 

Sementara itu, jumlah penurunan sekitar turun 2 juta di pada bulan April dibanding dengan bulan sebelumnya, menjadi 23,7 juta transaksi. Bank Central Asia (BCA) adalah salah satu penyedia kartu kredit terbesar di indonesia, dilihat dari data transaksinya turun sekitar 15 persen dan pembatalan kartu lebih dari dua kali lipat pada bulan April, ujar Charles Santoso, kepala bisnis kartu konsumen bank. "Saya tidak berpikir mereka semua menghindari pajak, tetapi beberapa orang dari mereka mengatakan mereka merasa privasi mereka terganggu dan mereka merasa tidak nyaman," kata Santoso, untuk catatan dalam pembatalan kartu  sebagian besar pembatalan berasal dari pihak wiraswasta. 

Selain itu pula para penyedia kartu kredit lain juga menghadapi masalah yang sama, kata Steve Martha, ketua emiten asosiasi kartu kredit di Indonesia. "Orang-orang harus insentif untuk menggunakan kartu, tidak dikenakan sanksi," katanya. Untuk pembayaran tunai di Indonesia itu sekitar 85 persen dari transaksi, jadi sulit untuk melacak, sehingga menantang bagi pemerintah untuk memerangi pencucian uang, korupsi dan pendanaan terorisme.

Sekitar 7 sampai 8 juta orang di Indonesia yang memiliki dan menggunakan kartu kredit, beberapa diantaranya ada yang menggunakan lebih dari satu jenis kartu, total dari 16,9 juta kartu kredit dilayani oleh 22 bank dan satu emiten non-bank. Ini termasuk bank negara terbesar, Bank Mandiri, Bank Central Asia, dan pemain asing seperti HSBC, Citibank dan Standard Chartered.Di bawah tekanan dari penurunan ekspor, Jakarta meluncurkan langkah-langkah tahun lalu untuk meningkatkan pendapatan pajak, termasuk amnesti pajak bagi mereka yang bersedia untuk menarik kembali uang mereka yang tersembunyi di rekening di luar negeri. Hanya 10 persen dari 250 juta penduduk Indonesia terdaftar dengan otoritas pajak dan jumlah pendapatan pajak tahunan 11 persen dari produk domestik bruto, atau sekitar $ 30 miliar dari apa yang seharusnya, kata Presiden Joko Widodo. 

Tagihan kartu kredit dan pembayaran elektronik lainnya dapat secara efektif digunakan untuk melacak kasus-kasus korupsi, kata Agus Santoso, wakil kepala Laporan Transaksi Keuangan Indonesia dan Pusat Analisis. Ini akan lebih sulit untuk membuktikan kasus jika orang kembali ke uang tunai, katanya, tapi ia tidak mengharapkan tindakan masyarakat yang kembali menggunakan "cash" ini akan bertahan dalam jangka yang lama, "orang tidaka akan memilih untuk membawa uang jutaan rupiah tunai di dompetnya sehingga menggembung untuk membayar barang-barang yang berharga mahal," katanya. 

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan "Jika ada dari mereka yang takut untuk menyatakan, itu berarti pendapatan mereka lebih dari apa yang mereka katakan kepada kantor pajak," katanya kepada wartawan di sela-sela konferensi di Jakarta pada awal bulan ini.

0 comments: